JIWA BESAR NU UNTUK MUHAMMADIYAH
JIWA BESAR NU UNTUK MUHAMMADIYAH
Menjelang Muktamar Muhammadiyah
ke-46 yang sekaligus menandai seratus tahun organisasi massa Islam itu,
pelbagai manuver politik mulai muncul ke permukaan. Seperti pada Muktamar NU
ke-32 di Makassar, isu mengenai liberalisme dan pluralisme juga mulai mencuat
menjelang Muktamar Muhammadiyah.Isu liberalisme dan pluralisme digunakan oleh
sejumlah pihak yang memiliki kepentingan politik untuk menyerang kekuatan lain.
Alasan utamanya adalah bahwa liberalisme dan pluralisme adalah gagasan baru
yang sangat tidak populer. Siapapun yang terstigma dengan liberalisme dan
pluralisme akan ditolak oleh banyak kalangan. Semuanya adalah manuver politik
dalam rangka perebutan posisi Ketua Umum.Majalah Tabligh terbitan PP
Muhammadiyah, Maret 2010, misalnya, memuat pernyataan Amien Rais tentang
kerisauannya terhadap perkembangan anak-anak muda Muhammadiyah yang mulai
menerima gagasan-gagasan pluralisme dan liberalisme.Pada kasus Judicial Review
UU PNPS/1965 tentang Penodaan Agama, PP Muhammadiyah juga secara tegas penolak
pencabutan UU pembatasan kebebasan beragama itu. Beberapa spanduk di sekitar
arena Muktamar NU juga terpampang penolakan terhadap liberalisme dan
pluralisme. Bahkan berkembang isu untuk menjegal tokoh-tokoh yang disinyalir
memperjuangkan gagasan-gagasan liberalisme dan pluralisme.Pada Muktamar NU
ke-32, isu anti-liberalisme dan anti-pluralisme tampak tidak banyak menuai
simpati. Hal itu dibuktikan dengan komposisi perolehan suara, baik pada
pemilihan Syuriah maupun Tanfidziyah, justru lebih banyak diraih oleh
tokoh-tokoh yang selama ini identik dengan gerakan liberalisme dan pluralisme.
KH Sahal Mahfudz yang selama ini sangat kukuh menolak formalisasi syariat Islam
justru secara aklamasi kembali dinobatkan sebagai Rais Aam PBNU.
KH Said Aqil Siradj yang selama
ini dikenal sebagai ahli tasawwuf yang oleh karenanya memperjuangkan pemikiran
terbuka di dalam Islam justru memenangkan pemilihan Ketua Umum PBNU. Ulil
Abshar-Abdalla (Gus Ulil) yang getol memperjuangkan gagasan-gagasan kebebasan
sipil (civil liberties) didukung oleh 22 cabang dan wilayah NU.Sementara tokoh
konservatif KH Hasyim Muzadi yang selama ini melakukan kampanye
anti-liberalisme dan pluralisme kalah dalam pemilihan Rais Aam dan hanya
memperoleh enam suara pada pemilihan Ketua Umum PBNU tahap pertama.Muktamar NU
ini seharusnya menjadi pelajaran yang berharga bagi Muktamar Muhammadiyah.
Liberalisme dan pluralisme adalah gagasan-gagasan yang dikembangkan oleh
anak-anak muda NU dan Muhammadiyah. Menolak gagasan yang berkembang di kalangan
anak-anak muda adalah pilihan yang tidak bijak.Para pemimpin Muhammadiyah harus
menyadari bahwa telah terjadi perubahan di dalam tubuh organisasi.
Gagasan-gagasan yang dikembangkan oleh anak-anak muda boleh jadi jauh lebih
maju dan relevan untuk pengembangan organisasi di masa depan. Gagasan-gagasan
semacam keterbukaan, kemajuan dan toleransi adalah sangat penting bagi
organisasi besar seperti NU dan Muhammadiyah.
Gagasan-gagasan baru yang
dikembangkan oleh anak-anak muda juga tidak bisa ditolak begitu saja, karena
biasanya hal itu terkait dengan gagasan umum yang sedang berkembang di kalangan
ummat. Pada kasus Muktamar NU, para pengamat tentu akan dengan mudah
mengidentifikasi bagaimana masyarakat NU yang hadir pada Muktamar itu
mengelu-elukan tokoh-tokoh seperti KH Sahal Mahfudz, KH Maemun Zubair, KH Said
Aqil Siradj dan Ulil Abshar-Abdalla.
Setiap kali nama mereka disebut sontak para hadirin
meneriakkan kata “Yes” dan bersorak gembira. Hal sebaliknya terjadi ketika nama
yang disebut adalah tokoh yang sejauh ini dianggap tidak ramah terhadap gagasan
baru. Setiap kali nama KH Hasyim Muzadi disebut, yang terdengar adalah teriakan
“huuu.” Contoh kecil ini bisa dijadikan bukti bahwa mereka yang mengusung
gagasan baru sesungguhnya menampung kebutuhan masyarakat secara umum.NU dan
Muhammadiyah adalah organisasi besar dengan harapan yang sangat besar. Jika
kedua organisasi ini dibiarkan stagnan dan terus-menerus mempertahankan sikap
statis, maka yang akan merugi adalah seluruh bangsa.Dengan kebesaran yang ada,
kedua organisasi ini sejatinya tidak membutuhkan pengakuan dari manapun.
Sehingga kampanye menjaga citra sebenarnya adalah percuma. Yang dibutuhkan dari
kedua organisasi ini adalah gebrakan-gebrakan dinamis untuk transformasi sosial
ke arah yang lebih baik.
Selama sepuluh tahun di bawah
kepemimpinan KH Hasyim Muzadi, NU seolah adalah organisasi kecil yang butuh
pengakuan. Itulah yang menjelaskan kenapa PBNU tampak enggan memberi respon
tegas terhadap pelbagai persoalan bangsa.
Lima tahun di bawah kepemimpinan Din Syamsuddin, Muhammadiyah muncul
sebagai organisasi kecil yang seolah harus selalu mengikuti arus
konservatifisme agar ia tetap eksis. Sejatinya pilihan-pilihan kebijakan yang
mengikuti arus itu tidak terlalu dibutuhkan oleh NU dan Muhammadiyah, karena
pada dirinya keduanya adalah organisasi besar.
NU dan Muhammadiyah membutuhkan pemimpin-pemimpin
seperti KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Prof. Ahmad Syafi’i Ma’arif. Kedua
tokoh itu memiliki kesadaran tentang betapa besar organisasi yang mereka
pimpin. Dengan kesadaran semacam itu, keduanya dengan leluasa melakukan
gebrakan-gebrakan dinamis. Mereka tidak takut berseberangan dengan arus
konservatifisme.
Mereka dengan lantang dan tegas
melakukan pembelaan terhadap kelompok minoritas yang terpinggirkan. Mereka
dengan gagah berani melakukan pembelaan terhadap siapapun yang didzalimi.
Mereka maju di garda depan menentang segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan.
Sikap-sikap semacam ini hanya muncul dari tokoh
yang merasa bahwa organisasi yang mereka pimpin dan kelola adalah organisasi
besar, dan bukan organisasi kemarin sore yang masih harus butuh pengakuan
publik.Hasil Muktamar NU ke-32 membuktikan bahwa masyarakat NU adalah
masyarakat yang cukup percaya diri. Mereka tidak terdikte oleh politik
pencitraan. Mereka memiliki kesadaran sebagai organisasi besar yang oleh
karenanya tidak terlalu risau terhadap gagasan-gagasan baru. Dalam setiap forum
di Muktamar, para Muktamirin memperdebatkan secara terbuka dan konstruktif
setiap isu.Gagasan-gagasan baru diperbincangkan secara bergairah. Tokoh-tokoh
dan pemikir-pemikir muda NU disambut dengan tangan terbuka. Tentu saja ada
upaya sejumlah pihak yang hendak menghalangi berkembangnya gagasan-gagasan
pembaharuan, tetapi arus besar di NU lebih menginginkan sikap terbuka ketimbang
tertutup.Masyarakat NU percaya, tanpa sikap keterbukaan, tidak akan mungkin
lahir tokoh-tokoh besar semacam KH Ahmad Siddiq, KH Sahal Mahfudz, KH
Abdurrahman Wahid, dan seterusnya.
Bagaimana dengan Muhammadiyah? Kita tunggu hasil
Muktamar ke-46 Juli mendatang.
dikutip dari :http://islamlib.com/ormas/muhammadiyah/jiwa-besar-nu-untuk-muktamar-muhammadiyah/
Post a Comment